TANJUNG SELOR – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalimantan Utara bersama sentra penegakan hukum hukum terpadu (Gakkumdu) telah memeriksa laporan dugaan penggunaan ijazah palsu paket C (setara SMA) oleh SS anggota DPRD terpilih hasil pemilu 2024.
Pimpinan Bawaslu Kaltara, Fadliansyah mengatakan hasil pemeriksaan dengan Gakkumdu menyimpulkan bahwa laporan tersebut tidak memenuhi unsur pelanggaran pemilu karena sejumlah barang bukti tidak terpenuhi. Sehingga laporan tersebut tidak masuk dalam tahap penyidikan oleh kepolisian.
“Minimal dibutuhkan dua alat bukti untuk bisa naik ke tahap penyelidikan. Secara formil, dugaan ijazah palsu kurang kuat,” ujarnya kepada Kaltara News, Senin (19/8/2024).
Disisi lain, hasil pemeriksaan menunjukkan adanya indikasi ketidakobjektifan dan ketidak akuntabelan pada proses pendaftaran, terutama dalam program pendidikan kesetaraan (paket) A, B, dan C. Selain itu, dalam proses standar kelulusan paket B, dilakukan persyaratan untuk melampirkan rapor.
“Hasil pemeriksaan, terungkap bahwa baik dari PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) maupun terlapor, tidak ada rapor yang dilampirkan,” bebernya.
Atas dasar itu, Bawaslu Kaltara merekomendasikan ke Polda Kaltara terkait adanya dugaan pelanggaran terkait Peraturan Pemerintah (PP) 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Nomor 97 Tahun 2013 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional.
“Tetapi, rekomendasi ini sifatnya masih dugaaan,” tegasnya.
Sesuai petunjuk teknis (juknis), meskipun masih bersifat dugaan atau mengandung peraturan perundang undangan lainnya, Bawaslu dapat merekomendasikan kepada instansi yang berwenang untuk menindaklanjuti.
“Terlapor mengaku telah menempuh pendidikan formal hingga kelas 5 semester genap. Namun, kami tidak mendapat bukti berupa rapor dari terlapor,” ungkapnya.
Apabila terbukti melanggar regulasi, pelaku dapat dijatuhkan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta, sesuai Pasal 69. Selain itu, apabila putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah, yang bersangkutan berpotensi penggantian antar waktu (PAW).
“Jika terbukti dan mendapatkan putusan inkrah, hal tersebut menjadi dasar KPU untuk melakukan proses Penggantian Antar Waktu (PAW) pada yang bersangkutan,” pungkasnya. (redaksi)