Banner Header

Proyek KIHI Bermanfaat Atau Menyengsarakan Warga Kampung Baru?

redaksi

BULUNGAN – Hamsah (36) warga Kampung Baru, Desa Mangkupadi dengan wajah yang lusuh hanya bisa meratapi nasibnya. Bagaimana tidak, sebelum adanya proyek pembangunan Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI), penghasilan sebagai nelayan cukup menggiurkan, dalam sekali panen bagan yang di tanam di laut hasilnya bisa mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah.

Namun seketika sirna setelah berjalannya pembangunan KIHI, omset dari menanam bagan pun menurun drastic, bahkan uang untuk makan pun sangat sulit. Penyebabnya, banyak kapal-kapal ponton milik Perusahaan yang lalu-lalang di sekitar bagan. Bahkan baru-baru ini bagan miliknya porak-poranda diduga ditabrak ponton sehingga tidak bisa melaut lagi.

“Kami menangkap ikan sangat susah,” ujarnya kepada Kaltara News

Persoalan lain muncul ketika Hamsah dan warga lainnya hendak berkebun malah mendapat intimidasi dari oknum perangkat Desa. Oknum tersebut diduga pro dengan pihak Perusahaan dengan mengancam akan mempidanakan jika tidak keluar dari kawasan tersebut.

“Kami pun berkebun dibatasi sama Perusahaan. Sempat juga aku di ancam sama Bumdes. Kalau kita nda keluar dari sini kami akan pidanakan,” keluhnya.

Hamsah mengaku sebenarnya warga Kampung Baru mendukung pembangunan KIHI asalkan pihak Perusahaan bersedia melakukan ganti untung terhadap lahan milik mereka. Namun hal itu tak kunjung terealisasi sehingga warga memilih bertahan.

“Kami itu minta ganti rugi secukupnya lah. Minta orang itu 100, 150 juta tapi kayaknya nda ada respon,” ucapnya.

Ratusan Warga Kampung Baru yang hingga saat ini masih bertahan seperti kehilangan arah akibat adanya proyek strategis nasional berkedok energi hijau berkelanjutan. Pihak Perusahaan yang diharapkan bisa bertanggung jawab justru tidak menghiraukan, pun pemerintah daerah yang terkesan lepas tangan. Apalagi pihak kepolisian setempat yang enggan menindaklanjuti laporan sebab tidak ada saksi.

Baca juga  KPU Kaltara Antisipasi Adanya PSU

“Karena kami juga butuh makan, karena kami datang ke sini hanya mencari nafkah saja.,” harapnya.

Sementara itu berdasarkan laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil SETARA yang terdiri dari NUGAL Institute, Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari (PLHL), Greenpeace Indonesia, Celios, EN, dan JATAM Kaltim bersama dengan sejumlah perwakilan warga terdampak menyelenggarakan  mengungkap bahwa di balik gemerlap promosi mega proyek kawasan industri terbesar di dunia yang diklaim sebagai Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI- KIPI) hanyalah sebuah operasi pemalsuan dan penggelapan cerita dan duduk perkara.

Pemalsuan dan penggelapan cerita dan duduk perkara tersebut meliputi ancaman daya rusak, mata pencaharian rakyat yang akan hilang berganti operasi kuasa oligarki politik dan bisnis, hingga bermacam rupa modus keji perampasan tanah-laut, dan penggusuran ruang hidup. Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa Kawasan Industri Hijau yang dikelola PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) di Tanah Kuning-Mangkupadi di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara ini mengklaim seluruh aktivitas industri dan tenant di kawasannya akan menerapkan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan.

Tak hanya itu, proyek ambisius ini mengklaim akan mengurangi secara drastis jejak karbon melalui penerapan teknologi hijau, produk hijau dengan standar tertinggi dalam lingkungan hidup bahkan mengklaim dipasok oleh sumber energi terbarukan, oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang disebut sejalan dengan target transisi energi dan net zero emission pada 2060 nanti.

Namun, dari penelusuran dalam laporan ini yang akan terjadi adalah sebaliknya. Penggelapan dan pemalsuan dari keseluruhan jalan cerita industri ini bahkan terpampang, bukan hanya membutuhkan lahan dengan skala besar namun juga rakus air dan rakus energi.

Baca juga  Langgar Perda, Puluhan Lapak Kaki Lima Diangkut Satpol PP

Jumlah air yang dipakai dan air limbah yang ditinggalkan amat banyak termasuk mengenai urusan pemenuhan pasokan energi. Industri ini akan tetap bersumber dari PLTU batu bara, tidak seperti klaim sebelumnya yang menjual label hijau karena hanya akan menggunakan energi non fosil seperti PLTA. Untuk menggerakkan kawasan industri yang sedang dibangun konsorsium KIPI, PT. Adaro Group membangun PLTU kawasan. Pembangunan PLTU kawasan tentunya tidak sejalan dengan agenda pemerintah yang berencana mempensiunkan semua PLTU batu bara.

Kucuran dana sebesar 610 juta USD yang diperoleh dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism dari Asian Development Bank (ADB) tentang penghentian pembangunan proyek PLTU baru terasa hipokrit. Faktanya, di saat yang sama pemerintah Indonesia masih menoleransi dan memberikan pengecualian bagi proyek PLTU batu bara yang ada di dalam kawasan industri melalui Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2022 seperti juga rencana pembangunan PLTU Batubara untuk kebutuhan jangka pendek di kawasan industri ini.

Dalam laporan Kebohongan Hijau ini terungkap total energi listrik yang akan digunakan sebesar 11.404 GWh tiap tahunnya yang masih mengandalkan batu bara, hanya dari industri petrokimia dan baja. Jika ditotal terdapat kebutuhan 27.620.000-ton batu bara tiap tahunnya. Jumlah 27,6 juta ton batu bara yang hanya digunakan di kawasan industri ini setara dengan produksi batu bara dari sebanyak 37 Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara yang tersebar di seluruh wilayah provinsi Kalimantan Utara saat ini.

Sementara untuk pemenuhan air bersih dan air baku, kawasan industri ini akan merampas air dari Sungai Pindada dan Sungai Mangkupadi Tawar yang berada dalam kawasan mereka hingga Sungai Kayan Bulungan. Kebutuhan air kawasan industri ini akan menghabiskan 39.450.560 kubik tiap tahunnya, jumlah itu setara dengan pemakaian 1 ½ tahun pemakaian bagi sekitar 700 ribu penduduk Kalimantan Utara. Bahkan diperkirakan setiap harinya akan terdapat 286.439,86 air limbah yang dibuang setiap empat jam dalam sehari ke sejumlah badan air setempat yaitu Sungai Mangkupadi Asin, Sungai Pindada, Mangkupadi Tawar, Kalaputan Besar dan Sungai Kampung Baru.

Baca juga  Satpol PP Bongkar Lapak Pemotongan Unggas di Pasar Induk

Laporan ini menemukan bagaimana kuasa operasi politik, hukum, dan bisnis berlangsung untuk memuluskan mega proyek ambisius ini. Melalui serangkaian operasi politik dan hukum di daerah untuk mengubah berbagai status kawasan penting melalui rencana ketiga kalinya revisi terhadap tata ruang. Mulai dari revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2013 yang mengatur tentang Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) Kabupaten Bulungan 2012–2032 yang akhirnya diubah menjadi Perda Nomor 1 Tahun 2021 tentang RTRW 2021–2041 dan munculnya kembali rencana revisi ketiga untuk mengakomodir rencana perluasan berikutnya.

Laporan ini menemukan kawasan perikanan mengalami penyusutan hingga 5 kali lipat, kawasan wisata pantai yang berada di Tanjung Palas Timur ikut menyusut 17 kali lipat dari semula, tumpang tindih kawasan budidaya air payau, kawasan pertanian, kawasan peruntukan lahan pangan, pertanian berkelanjutan hingga kawasan pemukiman pedesaan seperti yang dialami oleh Kampung Baru di Desa Mangkupadi untuk digusur paksa.

Melalui laporan ini koalisi SETARA dan sejumlah perwakilan warga terdampak mendesak pembatalan proyek kotor berkedok proyek industri hijau di Kalimantan Utara ini Mendesak badan-badan otoritas terkait domestik maupun internasional untuk melakukan evaluasi dan audit menyeluruh termasuk menggunakan protokol Hak Asasi Manusia (HAM), Perburuhan dan Lingkungan Hidup (Ekologis). (Redaksi/Koalisi Setara)

Baca Juga

Maling!!! Liputan bos, jangan mau kontraknya aja tapi ngga turun ke lapangan! Wkwkwk